Sudah sebulan lebih aku di Malang, dan kuliahku pun akan memasuki minggu ketiga Senin besok. Aku tak sempat menulis apapun di pertengahan bulan ini karena, (1) modemku secara mengejutkan tak terbaca di laptop walau semalaman aku coba pasang, dan (2) hotspot area di dalam kampus tak menjamin kepuasan untuk berinternet ria. Satu-satunya cara adalah meminjam laptop Ficky -kawan sekost- plus modemku, itu pun kalau dia ada di kost dan laptopnya tak terpakai.
Kehidupan perkuliahan -dunia baru bagiku- benar-benar merampas semua hak asasiku sebagai manusia.
Jam tidur secara drastis berkurang walau kehidupan sosial beranjak naik sampai ke titik dimana aku bingung untuk menyapa siapa duluan. Antara kawan sekelompok PESMABA dulu atau kawan seangkatan APLINET, atau kawan kost, atau bahkan kawan sekelas. Di titik ini, aku bingung, siapa yang harus aku sapa atau aku ajak bicara. Karena, yaahh, aku tak ingin ada label sombong pada diriku jadi aku berusaha sebisa mungkin untuk menyapa mereka satu persatu.
Ditambah dengan bebanku sebagai ketua tingkat di kelas, yang juga merupakan hal baru bagiku. Kau tahu, kan, kawan ? Aku tak pernah menjabat sebagai ketua atau seseorang yang diamanati sesuatu seperti pemimpin atau perwakilan. Paling tinggi, aku pernah menjabat sebagai wakil ketua OSIS jaman putih abu-abu dahulu. Dan ini adalah hal yang paling membuatku stres bukan main dan bingung, linglung seperti orang tak tahu arah. Aku mulai mengerjakan semuanya secara berantakan, yang penting urusan kelas harus kelar, aku bahkan lupa pada kawan lain dan diri sendiri. Saking semangatnya, aku menderita sakit yang belum sembuh sejak awal masuk kuliah perdana sampai sekarang, yaitu dada sesak dan batuk yang menyiksa. Aku benar-benar tak memiliki waktu untuk bernafas untuk diriku sendiri. Kata Nita, kawan sekelas, aku terlalu memforsir diriku sendiri dan itulah yang akhirnya membuat beban ini semakin berat, baik secara fisik dan psikis.
Belum lagi jadwal kuliah yang, wow, dan kondisi kelas yang, ah, entahlah. Sulit untuk diungkapkan dengan kata-kata. Kawan-kawan sekelasku adalah orang-orang yang unik dan menarik untuk menjadi substansi observasi yang selama ini sering aku lakukan pada orang baru. Namun, amanah sebagai ketua tingkat membuatku bertanggung jawab kepada mereka dan para dosen. Aku sebenarnya hanya memiliki satu keinginan yang sederhana, yaitu hanya ingin membuat kelas menjadi kompak dan tak ada segmentasi atau kotak-kotak. Aku hanya ingin kita seirama dan selangkah bersama selama setahun dua semester ini. Sederhana, bukan, kawan ?
Namun, susah untuk mengatur banyak orang. Bayangkan, aku memiliki tanggung jawab kepada 65 anak sekaligus selama setahun kedepan. Dan aku harus dapat menjadikan mereka untuk dapat lanjut ke semester berikutnya tanpa ada yang harus mengulang. Aku tak bosan untuk mengingatkan mereka akan tugas dan kehadiran -aku bahkan menolak jika ada yang ingin titip absen untuk membolos-. Itu semua demi keberhasilan sekelas untuk lanjut ke anak tangga berikutnya.
Di kampus, aku mahasiswa yang tergolong biasa saja. Hanya saja, aku betah berlama-lama di kampus walau tak melakukan apa-apa. Suasana kampus yang tenang dan selalu terkena angin membuatku nyaman. Kau tahu, kan, kawan, bahwa aku menyukai tempat dimana angin dapat berhembus dengan kencang, atau tempat yang dekat dengan sumber air seperti pantai atau danau. Dan kampus memiliki keduanya. Jika ingin angin, aku tinggal naik ke lantai 6 GKB 1. Jika ingin dekat sumber air, kampus memiliki danau buatan dan banyak gazebo di pinggirnya untuk sekedar nongkrong atau bahkan mencari inspirasi. Di gazebo itulah aku menuliskan orasi untuk PESMABA kemarin. Di gazebo itu pula aku menulis puisi Tentang Kita yang pernah aku posting di blog ini. Sangat menginspirasi.
Sebenarnya, banyak yang ingin aku beri tahukan padamu, kawan. Namun, aku menunggu momen yang tepat untuk berkisah padamu. Aku ingin kau tahu bahwa mungkin, sejauh ini, hanya kau orang yang dapat aku percaya. Aku tahu engkau tak nyata, engkau hanyalah sebuah konsep imaji tak konkrit yang tercipta dari khayalanku belaka. Namun, aku benar-benar membutuhkan seseorang, atau sesuatu untuk berkeluh kesah, kalau perlu, aku ingin menangis jika memang aku harus. Aku tak ingin bercerita pada orang tua, yang telah terbebani pikirannya dengan masalah ekonomi, lebih baik, aku melukai diriku sendiri daripada memberikan goresan luka batin pada orang tua dengan masalahku yang kekanakan. Aku tak ingin begitu saja mengeluh, lagipula, aku pernah melakukan ini sebelumnya -hidup jauh dari orang tua- seharusnya ini menjadi lebih mudah.
Posting berikutnya mungkin akan berisi tentang hal yang lebih sensitif, yaitu asmara *ceilah*
Karena, tak dapat dipungkiri, ada beberapa hal yang membuatku berpikir bahwa aku perlu mencari seseorang yang dapat menampung semua resahku dan dahagaku akan kasih sayang. Aku juga manusia, aku pun ingin disayangi dan dicintai. Manusiawi, bukan ?
Namun aku tak ingin menuliskan kisah itu secara eksplisit karena aku khawatir akan ada pihak yang tak senang dengan tulisanku. So long, guys~
Tidak ada komentar:
Posting Komentar