Bung .. ini adalah cerpen yang pertama kali aku buat, yahh ini adalah cerpen debutku didunia tulis menulis #eaahhh
Mungkin fellas nanti bosen bacanya karena simpel banget dan konfilknya nggak seru-seru amat, tapi, ya begitulah .. aku nulis cerpen ini setengah mati lho ..
Cekidoott ..
Hari Minggu di Surabaya
berbeda dengan hari-hari lainnya. Apalagi
saat program Car Free Day mulai
mencuat di masyarakat. Selalu, jika kau melihat di jalan-jalan utama kota Surabaya ,
banyak warga bersepeda secara berkelompok. Mereka memanfaatkan kondisi jalanan
yang lenggang dari kendaraan. Kepopuleran Car
Free Day juga terdengar ditelingaku. Aku, bersama sahabatku, rutin
bersepeda setiap hari Minggu tiba. Kami memulainya sejak 3 minggu yang lalu,
saat secara kebetulan orang tuaku memberiku sepeda, walau aku tak pernah
meminta mereka untuk membelikan sepeda. Rezeki kadang memang jatuh tanpa kita
duga. Setelah bersepeda berkeliling kota
dan berhenti sebentar didepan taman Bungkul, yang menjadi pusat dari program Car Free Day, kami selalu beristirahat
sejenak di taman Prestasi. Waktu itu aku baru saja membeli dua botol air
mineral di salah satu penjual asongan di luar taman ketika aku melihat
sahabatku berdiri mematung ditepi sungai dengan melipat tangannya diatas pagar
pembatas antara taman dengan sungai. Sungai kota tidak terlalu bersih, lalu apa
yang dia lihat, pikirku
saat melihatnya. Ternyata
pandangan matanya tidak mengarah ke sungai, melainkan ke tempat yang lebih jauh
lagi. Aku tahu apa yang ia lakukan, maka aku hanya diam saja dan menunggunya
berbicara. Aku baru saja memasukkan air ke tenggorokanku yang kering ketika ia
bertanya padaku,
”Apa kamu percaya pada keajaiban?”
Aku tersedak karena kaget dan batuk-batuk. Mulutku basah oleh air yang
tidak jadi masuk ke tenggorokan. Aku berpikir sebentar tentang pertanyaannya.
Meskipun aku sudah sering berhadapan dengan sikapnya ini, kadang kala aku masih
tidak siap jika ia melempar pertanyaan secara tiba-tiba. Dan bukan pertanyaan
biasa.
”Keajaiban? Emm .. yah,
aku percaya. Keajaiban itu memang ada. Seperti bagaimana aku bisa mengenalmu,
itu adalah sebuah keajaiban. Meskipun kadang-kadang aku berpikir itu adalah
sebuah kesialan,” aku menjawab pertanyaannya dengan candaan. Aku tertawa, dia
hanya tersenyum kecil. Apa menurutnya itu tidak lucu? Aku tak tahu.
”Menurutmu apa itu
keajaiban?” ia bertanya padaku lagi. Aku berpikir lagi.
”Keajaiban itu .. emm ..
sesuatu yang ajaib. Maksudku sesuatu yang tidak pernah kita duga sebelumnya,
tidak pernah kita prediksikan, sesuatu yang ..” aku berpikir lagi sejenak
sebelum melanjutkan,”... hebat. Ah aku nggak
tahu bagaimana menjelaskannya!” aku kesal sendiri karena jawabanku.
”Kalau begitu apa bedanya
dengan keberuntungan?”
”Beberapa orang
menyebutnya sebagai keberuntungan, mungkin. Tapi .. yaaa .. memang agak sama sih. Keberuntungan dan keajaiban. Perbedaannya mungkin tipis
sekali,” jawabku ngaco. Aku mulai tak mengerti tentang topik yang kami
bicarakan.
”Apa kita bisa membuat
keajaiban?”
”Ya, kita bisa. Tapi jujur
saja, aku nggak tahu bagaimana
caranya membuat keajaiban. Kalau keajaiban itu seperti makanan, kita hanya
perlu mencari resepnya, bukan?” aku becanda lagi. Kali ini ia benar-benar
tertawa.
Dan begitulah yang terjadi setiap hari Minggu pagi di taman Prestasi. Sahabatku
ini adalah orang yang paling suka bermimpi tentang sesuatu diantara
teman-temanku yang lain. Ia adalah seorang pemimpi, pengkhayal sejati. Ia
adalah orang yang percaya dengan statement
“hidup berawal dari mimpi”. Sikapnya yang tadi, saat ia berdiri ditepi sungai,
adalah apa yang aku sebut dengan fase “diam total”. Mungkin memang terdengar
aneh bagi sebagian orang, tapi itulah yang terjadi. Lalu, beberapa saat
kemudian, ia mulai berbicara tentang sesuatu yang baru saja pikirkan, itu
adalah fase”berfilosofi”. Ya, sahabatku sangat suka berfilosofi. Ia memiliki
kedalaman pikiran yang luar biasa, serta kelapangan hati yang luar biasa pula,
untuk anak seumuran dia. Padahal, tampilan luarnya sangat biasa. Yahh ..
meskipun banyak cewek di sekolah menyukainya. Mereka bilang sahabatku memang
nggak setampan artis, tetapi wajahnya enak untuk dilihat, dan tentu saja, sikap
cool yang menjadi trademark-nya selama ini. Jika aku
ditanya apa pendapatku tentang sahabatku, aku menjawab dengan jawaban yang
sederhana,
“Dia orang yang baik.” Itu
saja. Dan sebenarnya aku kehabisan kata-kata untuk menjelaskan bagaimana
hebatnya sosok kecil dan kurus disebelahku ini ketika ia mulai bermimpi,
berfilosofi, memotivasi orang lain dan berusaha sekuat tenaga untuk menggapai
mimpinya. Ia adalah seorang pejuang mimpi, he’s
a dream fighter.
Pernah suatu hari aku
bertanya padanya tentang mimpi yang selama ini ia kejar, kejadian itu terjadi
dua hari yang lalu.
“Apa sih mimpi terbesarmu?”
“Hah? Mimpi terbesarku? Kamu mau tahu?” ia balik
bertanya. Saat itu jam istirahat, kami pergi ke kantin untuk sekedar membeli
minuman.
”Tentu saja. Ceritakan
padaku apa mimpi terbesarmu?”
”Aku pernah bermimpi tentang negeri ini.” Ia
menjawab singkat.
“Lalu?”
“Indonesia menjadi negara
yang maju, sangat maju.”
“Ya .. terus?”
“Aku turut berperan dalam memajukan negeri ini.”
Aku mulai kesal dengan jawabannya yang terpotong-potong dan tanggung.
”Bisakah kamu langsung
menceritakannya panjang lebar tanpa harus terpotong-potong seperti itu!?”
”Ah iya maaf. Baiklah. Aku
punya cita-cita untuk pergi ke luar negeri, terutama Eropa. Negara yang paling
ingin aku kunjungi adalah Inggris. Kamu tahu kan kalau aku suka sekali dengan apapun yang berhubungan dengan
Inggris? Mulai dari bahasanya, budayanya, sepak bolanya, dan tentu saja
cewek-cewek Inggris. Tapi tak hanya Inggris, aku juga ingin berkeliling Eropa.
Lalu .. aku juga akan membawa nama Indonesia sebagai identitas kebangsaanku.”
Mulai titik ini aku tak percaya dengan apa yang sahabatku katakan. Aku dengan
cepat langsung menoleh ke arahnya yang masih menghabiskan minumannya.
”Kamu ingin membawa nama
Indonesia?” tanyaku. Aku masih tak yakin dengan apa yang aku baru saja dengar.
”Ya. Kenapa? Bukankah itu hal yang mulia? Kita harus bangga menjadi warga
Indonesia.”
“Bangga? Apa yang bisa kita banggakan dari negeri
ini? Kamu bisa lihat sendiri kondisi negeri yang kacau balau baik politik,
sosial maupun ekonominya. Kita bahkan nggak
bisa disejajarkan dengan Singapura yang dari segi ukuran mungkin hanya seluas
provinsi Jakarta,” aku bersikap apatis tentang negeri ini. Ya, aku sudah bosan
melihat kebobrokan negeri yang tak ada habisnya.
”Apalagi para pemain drama di panggung politik
itu. Ya ampun betapa busuknya
mereka! Seenaknya mengutak-atik kebijakan demi kepentingan mereka sendiri.
Mereka dipilih untuk rakyat seharusnya memperhatikan kepentingan rakyat bla bla
bla ..” sementara aku mengoceh panjang lebar tentang betapa buruknya hukum dan
politik di negeri ini, sahabatku hanya diam dan pandangannya tetap lurus ke
depan. Ia akan berfilosofi untuk membalas asumsiku. Setelah aku puas
mengeluarkan semua unek-unekku, ia berkata,
“Sudah selesai?”
“Ya. Tapi aku masih nggak mengerti bagaimana kamu berani
membawa nama negeri ini di mata dunia. Negeri ini harus berubah!”
Bel tanda masuk sudah berbunyi saat ia baru mulai membuka mulutnya untuk
bersuara. Ia segera berdiri dan berjalan kembali ke kelas tanpa mengatakan
sepatah kata pun. Aku hanya mengikutinya dari belakang.
Kembali ke taman. Memori
dua hari yang lalu itu membuatku teringat tentang sesuatu yang ingin ia ucapkan
saat itu.
“Apa kamu nggak mau menanggapi omonganku dua hari
yang lalu? Saat itu bel sudah
berbunyi dan aku nggak sempat
mendengar tanggapanmu.” Aku mengingatkannya tentang kejadian itu.
”Ah, iya .. aku ingat.
Kamu mau mendengarnya?”
”Tentu”
”Aku sudah tahu kalau kamu
membenci negeri ini dengan semua kebusukan hukum dan politiknya. Tapi bukan berarti negeri ini tidak
memiliki sisi positif. Kita dilahirkan di negeri ini. Kita hidup dan mungkin
mati juga disini. Kita akan dikebumikan di negeri ini. Kalau kamu benar-benar nggak suka, kamu boleh keluar dari
negeri ini dan pindah ke luar negeri, kalau kamu punya cukup uang.”
“Aku hanya ingin negeri
ini berubah.”
“Kalau begitu rubahlah!
Jadilah agen perubahan bagi negeri ini! Jangan hanya komplain tanpa ada niat
untuk berjalan ke arah yang positif. Kalau kamu hanya bisa menghardik, yang
pertama kali harus kamu rubah adalah dirimu sendiri. Mindset-mu tentang negeri inilah yang harus kamu rubah terlebih
dahulu.”
Perkataannya yang barusan menyentuh hatiku, dan pikiranku. Aku berpikir
sahabatku benar tentang suatu hal. Hal yang selama ini aku hilangkan dari
pikiranku. Hal itu adalah sisi positif negeri ini. Aku tak kaget jika ia
berkata demikian. Karena, selama aku mengenalnya, ia selalu berpikir positif
tentang suatu hal, seburuk apapun hal itu. Aku mulai merubah pandangan apatisku
sedikit demi sedikit.
”Bagaimana caranya untuk
merubah negeri ini?” aku bertanya padanya untuk meyakinkanku tentang asumsi
positifnya.
”Rubahlah dengan apa yang kamu punya. Kita mungkin
tidak bisa berdiri di panggung politik dan menghimpun banyak massa untuk
mendukung kita. Apalagi memimpin negeri ini, aku tahu itu sangat susah. Tapi,
banyak jalan menuju Roma, banyak jalan untuk menuju perubahan. Percayalah. Jika
kita tidak bisa merubah negeri ini dengan kekuatan fisik, maka gunakan otak
kita untuk merubahnya, gunakan pena untuk merubah opini masyarakat. Banyak hal
yang bisa kita gunakan sebagai media perubahan.” Sekali lagi, pikiranku terusik
dengan perkataan sahabatku.
”Bagaimana jika kita nggak bisa merubah negeri ini?” aku
bertanya lagi.
”Kalau kita nggak bisa merubah negeri ini,
setidaknya jagalah reputasi negeri ini. Kalau kita nggak bisa menjaga reputasinya, setidaknya jangan menodainya. Kalau
kita nggak bisa untuk nggak menodai reputasinya, setidaknya
rubahlah mindset yang ada dipikiran
kita tentang negeri ini. Be proud to be
Indonesian!” Kali ini kalimatnya benar-benar menghujam dengan tajam. Semua
pemikiran apatis yang selama ini ada di otakku runtuh karena kalimat demi kalimat
yang sahabatku ucapan. Ia mulai berfilosofi dengan pemikiran positifnya.
”Kita bisa membuat
keajaiban. Bukankah itu yang
kamu barusan katakan padaku tadi? Keajaiban untuk merubah Indonesia ke arah
yang lebih baik lagi. Resep yang kamu cari untuk membuat keajaiban itu sudah
ada di tanganmu. Pilihannya terserah padamu. Menggunakannya, atau membuangnya.”
Aku hanya diam. Tak sanggup berbicara. Otakku
kacau, banyak hal berseliweran didalamnya. Perubahan
untuk negeri, perubahan untuk negeri, aku berkata dalam hati. Sahabatku
benar. Kalau bukan kita, para generasi muda, siapa lagi yang akan menerima
tongkat estafet kepemimpinan bangsa ini?
”Bangsa ini bangsa yang besar. Kita seharusnya bangga menjadi warga
Indonesia, menjadi bagian dari bangsa Indonesia. Lihatlah sisi positifnya,”
kata sahabatku sambil tersenyum. Ia menyentuh pundakku lalu melanjutkan
perkataannya,
“Berbahagialah dengan apa yang kita punya.
Kita nggak mampu meminta lebih dari
apa yang sudah digariskan.”
Aku melempar pandanganku ke arah sungai, lalu ke
langit. Aku lihat matahari sudah terbit, memancarkan cahaya cerah dibalik
gedung-gedung tinggi kota Surabaya. Aku mulai menyadari betapa bodohnya aku,
yang hanya menghabiskan waktu menghardik kondisi negeri ini, sementara banyak
aktivitas lainnya yang bisa ku lakukan untuk membawa perubahan, seperti kata
sahabatku. Jika aku nggak bisa
merubah negeri ini, maka aku harus mempertahankan reputasinya, setidaknya aku
tidak memperburuk keadaan. Otakku mengolah semua yang sahabatku katakan tadi.
Semua perkataannya menyadarkanku tentang betapa pentingnya kita berpikir
positif terhadap negeri ini. Indonesia tak seburuk yang kita pikirkan. Awal
dari perubahan untuk negeri ini adalah perubahan pada diri masing-masing
individu.
”Hei,”
kataku sambil memukul lengannya, ”kamu memang pintar memotivasi orang lain.
Sebaiknya kamu jadi motivator. Terima kasih ya.”
”Aku
tak pernah berniat menjadi seorang motivator. Yang ku inginkan adalah membawa
nama Indonesia dan bendera Merah Putih ke Eropa, lalu aku akan menunjukkan pada
dunia betapa hebatnya negeri ini.” Aku mengamini impian besarnya itu. Cita-cita
boleh setinggi langit, tetapi kaki tetap harus berpijak pada bumi. Perubahan
dimulai dari diri kita sendiri, lalu menjalar ke orang-orang disekitar kita,
yang pada akhirnya secara perlahan merubah bangsa ini menjadi bangsa yang lebih
baik dan lebih besar lagi, membuat bangsa ini meraih kejayaannya. Semuanya .. berawal dari sini, kataku
dalam hati dengan mantap. Aku pun akan membuat keajaiban untuk membawa
perubahan pada bangsa ini. Pada bangsa yang aku cintai dengan segenap jiwa dan
raga ini ..
”Berpegangan
semua saudara
Tegar berdiri dalam mimpi yang satu
Perubahan untuk tanahmu, tanah airmu
Untuk negeri dan mimpi bangsamu”
Tegar berdiri dalam mimpi yang satu
Perubahan untuk tanahmu, tanah airmu
Untuk negeri dan mimpi bangsamu”
(Raja Negeriku
(Perubahan), NOAH)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar