Jumat, 30 November 2012

Perubahan Untuk Negeri


Bung .. ini adalah cerpen yang pertama kali aku buat, yahh ini adalah cerpen debutku didunia tulis menulis #eaahhh
Mungkin fellas nanti bosen bacanya karena simpel banget dan konfilknya nggak seru-seru amat, tapi, ya begitulah .. aku nulis cerpen ini setengah mati lho ..
Cekidoott ..    

Hari Minggu di Surabaya berbeda dengan hari-hari lainnya.  Apalagi saat program Car Free Day mulai mencuat di masyarakat. Selalu, jika kau melihat di jalan-jalan utama kota Surabaya, banyak warga bersepeda secara berkelompok. Mereka memanfaatkan kondisi jalanan yang lenggang dari kendaraan. Kepopuleran Car Free Day juga terdengar ditelingaku. Aku, bersama sahabatku, rutin bersepeda setiap hari Minggu tiba. Kami memulainya sejak 3 minggu yang lalu, saat secara kebetulan orang tuaku memberiku sepeda, walau aku tak pernah meminta mereka untuk membelikan sepeda. Rezeki kadang memang jatuh tanpa kita duga. Setelah bersepeda berkeliling kota dan berhenti sebentar didepan taman Bungkul, yang menjadi pusat dari program Car Free Day, kami selalu beristirahat sejenak di taman Prestasi. Waktu itu aku baru saja membeli dua botol air mineral di salah satu penjual asongan di luar taman ketika aku melihat sahabatku berdiri mematung ditepi sungai dengan melipat tangannya diatas pagar pembatas antara taman dengan sungai. Sungai kota tidak terlalu bersih, lalu apa yang dia lihat, pikirku saat melihatnya. Ternyata pandangan matanya tidak mengarah ke sungai, melainkan ke tempat yang lebih jauh lagi. Aku tahu apa yang ia lakukan, maka aku hanya diam saja dan menunggunya berbicara. Aku baru saja memasukkan air ke tenggorokanku yang kering ketika ia bertanya padaku,
            ”Apa kamu percaya pada keajaiban?”
Aku tersedak karena kaget dan batuk-batuk. Mulutku basah oleh air yang tidak jadi masuk ke tenggorokan. Aku berpikir sebentar tentang pertanyaannya. Meskipun aku sudah sering berhadapan dengan sikapnya ini, kadang kala aku masih tidak siap jika ia melempar pertanyaan secara tiba-tiba. Dan bukan pertanyaan biasa.
            ”Keajaiban? Emm .. yah, aku percaya. Keajaiban itu memang ada. Seperti bagaimana aku bisa mengenalmu, itu adalah sebuah keajaiban. Meskipun kadang-kadang aku berpikir itu adalah sebuah kesialan,” aku menjawab pertanyaannya dengan candaan. Aku tertawa, dia hanya tersenyum kecil. Apa menurutnya itu tidak lucu? Aku tak tahu.
            ”Menurutmu apa itu keajaiban?” ia bertanya padaku lagi. Aku berpikir lagi.
            ”Keajaiban itu .. emm .. sesuatu yang ajaib. Maksudku sesuatu yang tidak pernah kita duga sebelumnya, tidak pernah kita prediksikan, sesuatu yang ..” aku berpikir lagi sejenak sebelum melanjutkan,”... hebat. Ah aku nggak tahu bagaimana menjelaskannya!” aku kesal sendiri karena jawabanku.
            ”Kalau begitu apa bedanya dengan keberuntungan?”
            ”Beberapa orang menyebutnya sebagai keberuntungan, mungkin. Tapi .. yaaa .. memang agak sama sih. Keberuntungan dan keajaiban. Perbedaannya mungkin tipis sekali,” jawabku ngaco. Aku mulai tak mengerti tentang topik yang kami bicarakan.
            ”Apa kita bisa membuat keajaiban?”
            ”Ya, kita bisa. Tapi jujur saja, aku nggak tahu bagaimana caranya membuat keajaiban. Kalau keajaiban itu seperti makanan, kita hanya perlu mencari resepnya, bukan?” aku becanda lagi. Kali ini ia benar-benar tertawa.
Dan begitulah yang terjadi setiap hari Minggu pagi di taman Prestasi. Sahabatku ini adalah orang yang paling suka bermimpi tentang sesuatu diantara teman-temanku yang lain. Ia adalah seorang pemimpi, pengkhayal sejati. Ia adalah orang yang percaya dengan statement “hidup berawal dari mimpi”. Sikapnya yang tadi, saat ia berdiri ditepi sungai, adalah apa yang aku sebut dengan fase “diam total”. Mungkin memang terdengar aneh bagi sebagian orang, tapi itulah yang terjadi. Lalu, beberapa saat kemudian, ia mulai berbicara tentang sesuatu yang baru saja pikirkan, itu adalah fase”berfilosofi”. Ya, sahabatku sangat suka berfilosofi. Ia memiliki kedalaman pikiran yang luar biasa, serta kelapangan hati yang luar biasa pula, untuk anak seumuran dia. Padahal, tampilan luarnya sangat biasa. Yahh .. meskipun banyak cewek di sekolah menyukainya. Mereka bilang sahabatku memang nggak setampan artis, tetapi wajahnya enak untuk dilihat, dan tentu saja, sikap cool yang menjadi trademark-nya selama ini. Jika aku ditanya apa pendapatku tentang sahabatku, aku menjawab dengan jawaban yang sederhana,
            “Dia orang yang baik.” Itu saja. Dan sebenarnya aku kehabisan kata-kata untuk menjelaskan bagaimana hebatnya sosok kecil dan kurus disebelahku ini ketika ia mulai bermimpi, berfilosofi, memotivasi orang lain dan berusaha sekuat tenaga untuk menggapai mimpinya. Ia adalah seorang pejuang mimpi, he’s a dream fighter.

            Pernah suatu hari aku bertanya padanya tentang mimpi yang selama ini ia kejar, kejadian itu terjadi dua hari yang lalu.
            “Apa sih mimpi terbesarmu?”
            “Hah? Mimpi terbesarku? Kamu mau tahu?” ia balik bertanya. Saat itu jam istirahat, kami pergi ke kantin untuk sekedar membeli minuman.
            ”Tentu saja. Ceritakan padaku apa mimpi terbesarmu?”
            ”Aku pernah bermimpi tentang negeri ini.” Ia menjawab singkat.
            “Lalu?”
            “Indonesia menjadi negara yang maju, sangat maju.”
            “Ya .. terus?”
            “Aku turut berperan dalam memajukan negeri ini.”
Aku mulai kesal dengan jawabannya yang terpotong-potong dan tanggung.
            ”Bisakah kamu langsung menceritakannya panjang lebar tanpa harus terpotong-potong seperti itu!?”
            ”Ah iya maaf. Baiklah. Aku punya cita-cita untuk pergi ke luar negeri, terutama Eropa. Negara yang paling ingin aku kunjungi adalah Inggris. Kamu tahu kan kalau aku suka sekali dengan apapun yang berhubungan dengan Inggris? Mulai dari bahasanya, budayanya, sepak bolanya, dan tentu saja cewek-cewek Inggris. Tapi tak hanya Inggris, aku juga ingin berkeliling Eropa. Lalu .. aku juga akan membawa nama Indonesia sebagai identitas kebangsaanku.”
Mulai titik ini aku tak percaya dengan apa yang sahabatku katakan. Aku dengan cepat langsung menoleh ke arahnya yang masih menghabiskan minumannya.
            ”Kamu ingin membawa nama Indonesia?” tanyaku. Aku masih tak yakin dengan apa yang aku baru saja dengar.
            ”Ya. Kenapa? Bukankah itu hal yang mulia? Kita harus bangga menjadi warga Indonesia.”
            “Bangga? Apa yang bisa kita banggakan dari negeri ini? Kamu bisa lihat sendiri kondisi negeri yang kacau balau baik politik, sosial maupun ekonominya. Kita bahkan nggak bisa disejajarkan dengan Singapura yang dari segi ukuran mungkin hanya seluas provinsi Jakarta,” aku bersikap apatis tentang negeri ini. Ya, aku sudah bosan melihat kebobrokan negeri yang tak ada habisnya.
            ”Apalagi para pemain drama di panggung politik itu. Ya ampun betapa busuknya mereka! Seenaknya mengutak-atik kebijakan demi kepentingan mereka sendiri. Mereka dipilih untuk rakyat seharusnya memperhatikan kepentingan rakyat bla bla bla ..” sementara aku mengoceh panjang lebar tentang betapa buruknya hukum dan politik di negeri ini, sahabatku hanya diam dan pandangannya tetap lurus ke depan. Ia akan berfilosofi untuk membalas asumsiku. Setelah aku puas mengeluarkan semua unek-unekku, ia berkata,
            “Sudah selesai?”
            “Ya. Tapi aku masih nggak mengerti bagaimana kamu berani membawa nama negeri ini di mata dunia. Negeri ini harus berubah!”
Bel tanda masuk sudah berbunyi saat ia baru mulai membuka mulutnya untuk bersuara. Ia segera berdiri dan berjalan kembali ke kelas tanpa mengatakan sepatah kata pun. Aku hanya mengikutinya dari belakang.

            Kembali ke taman. Memori dua hari yang lalu itu membuatku teringat tentang sesuatu yang ingin ia ucapkan saat itu.
            “Apa kamu nggak mau menanggapi omonganku dua hari yang lalu? Saat itu bel sudah berbunyi dan aku nggak sempat mendengar tanggapanmu.” Aku mengingatkannya tentang kejadian itu.
            ”Ah, iya .. aku ingat. Kamu mau mendengarnya?”
            ”Tentu”
            ”Aku sudah tahu kalau kamu membenci negeri ini dengan semua kebusukan hukum dan politiknya. Tapi bukan berarti negeri ini tidak memiliki sisi positif. Kita dilahirkan di negeri ini. Kita hidup dan mungkin mati juga disini. Kita akan dikebumikan di negeri ini. Kalau kamu benar-benar nggak suka, kamu boleh keluar dari negeri ini dan pindah ke luar negeri, kalau kamu punya cukup uang.”
            “Aku hanya ingin negeri ini berubah.”
            “Kalau begitu rubahlah! Jadilah agen perubahan bagi negeri ini! Jangan hanya komplain tanpa ada niat untuk berjalan ke arah yang positif. Kalau kamu hanya bisa menghardik, yang pertama kali harus kamu rubah adalah dirimu sendiri. Mindset-mu tentang negeri inilah yang harus kamu rubah terlebih dahulu.”
Perkataannya yang barusan menyentuh hatiku, dan pikiranku. Aku berpikir sahabatku benar tentang suatu hal. Hal yang selama ini aku hilangkan dari pikiranku. Hal itu adalah sisi positif negeri ini. Aku tak kaget jika ia berkata demikian. Karena, selama aku mengenalnya, ia selalu berpikir positif tentang suatu hal, seburuk apapun hal itu. Aku mulai merubah pandangan apatisku sedikit demi sedikit.
            ”Bagaimana caranya untuk merubah negeri ini?” aku bertanya padanya untuk meyakinkanku tentang asumsi positifnya.
            ”Rubahlah dengan apa yang kamu punya. Kita mungkin tidak bisa berdiri di panggung politik dan menghimpun banyak massa untuk mendukung kita. Apalagi memimpin negeri ini, aku tahu itu sangat susah. Tapi, banyak jalan menuju Roma, banyak jalan untuk menuju perubahan. Percayalah. Jika kita tidak bisa merubah negeri ini dengan kekuatan fisik, maka gunakan otak kita untuk merubahnya, gunakan pena untuk merubah opini masyarakat. Banyak hal yang bisa kita gunakan sebagai media perubahan.” Sekali lagi, pikiranku terusik dengan perkataan sahabatku.
            ”Bagaimana jika kita nggak bisa merubah negeri ini?” aku bertanya lagi.
            ”Kalau kita nggak bisa merubah negeri ini, setidaknya jagalah reputasi negeri ini. Kalau kita nggak bisa menjaga reputasinya, setidaknya jangan menodainya. Kalau kita nggak bisa untuk nggak menodai reputasinya, setidaknya rubahlah mindset yang ada dipikiran kita tentang negeri ini. Be proud to be Indonesian!” Kali ini kalimatnya benar-benar menghujam dengan tajam. Semua pemikiran apatis yang selama ini ada di otakku runtuh karena kalimat demi kalimat yang sahabatku ucapan. Ia mulai berfilosofi dengan pemikiran positifnya.
            ”Kita bisa membuat keajaiban. Bukankah itu yang kamu barusan katakan padaku tadi? Keajaiban untuk merubah Indonesia ke arah yang lebih baik lagi. Resep yang kamu cari untuk membuat keajaiban itu sudah ada di tanganmu. Pilihannya terserah padamu. Menggunakannya, atau membuangnya.”
Aku hanya diam. Tak sanggup berbicara. Otakku kacau, banyak hal berseliweran didalamnya. Perubahan untuk negeri, perubahan untuk negeri, aku berkata dalam hati. Sahabatku benar. Kalau bukan kita, para generasi muda, siapa lagi yang akan menerima tongkat estafet kepemimpinan bangsa ini?
            ”Bangsa ini bangsa yang besar. Kita seharusnya bangga menjadi warga Indonesia, menjadi bagian dari bangsa Indonesia. Lihatlah sisi positifnya,” kata sahabatku sambil tersenyum. Ia menyentuh pundakku lalu melanjutkan perkataannya,
            “Berbahagialah dengan apa yang kita punya. Kita nggak mampu meminta lebih dari apa yang sudah digariskan.”
Aku melempar pandanganku ke arah sungai, lalu ke langit. Aku lihat matahari sudah terbit, memancarkan cahaya cerah dibalik gedung-gedung tinggi kota Surabaya. Aku mulai menyadari betapa bodohnya aku, yang hanya menghabiskan waktu menghardik kondisi negeri ini, sementara banyak aktivitas lainnya yang bisa ku lakukan untuk membawa perubahan, seperti kata sahabatku. Jika aku nggak bisa merubah negeri ini, maka aku harus mempertahankan reputasinya, setidaknya aku tidak memperburuk keadaan. Otakku mengolah semua yang sahabatku katakan tadi. Semua perkataannya menyadarkanku tentang betapa pentingnya kita berpikir positif terhadap negeri ini. Indonesia tak seburuk yang kita pikirkan. Awal dari perubahan untuk negeri ini adalah perubahan pada diri masing-masing individu.
            ”Hei,” kataku sambil memukul lengannya, ”kamu memang pintar memotivasi orang lain. Sebaiknya kamu jadi motivator. Terima kasih ya.”
            ”Aku tak pernah berniat menjadi seorang motivator. Yang ku inginkan adalah membawa nama Indonesia dan bendera Merah Putih ke Eropa, lalu aku akan menunjukkan pada dunia betapa hebatnya negeri ini.” Aku mengamini impian besarnya itu. Cita-cita boleh setinggi langit, tetapi kaki tetap harus berpijak pada bumi. Perubahan dimulai dari diri kita sendiri, lalu menjalar ke orang-orang disekitar kita, yang pada akhirnya secara perlahan merubah bangsa ini menjadi bangsa yang lebih baik dan lebih besar lagi, membuat bangsa ini meraih kejayaannya. Semuanya .. berawal dari sini, kataku dalam hati dengan mantap. Aku pun akan membuat keajaiban untuk membawa perubahan pada bangsa ini. Pada bangsa yang aku cintai dengan segenap jiwa dan raga ini ..

”Berpegangan semua saudara
Tegar berdiri dalam mimpi yang satu
Perubahan untuk tanahmu, tanah airmu
Untuk negeri dan mimpi bangsamu”
(Raja Negeriku (Perubahan), NOAH)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar